🐁 Cerita Rakyat Kalimantan Selatan Singkat

Sejarahsingkat terjadinya : Perlawanan rakyat sulawesi ini terjadi pada tahun 1829-1907. Perjuangan itu melawan Pemerintahan Hindia Belanda, dimana Kerajaan Gowa yang hanya mengakui kekuasaan Belanda saja, sedangkan Kerajaan Soppeng serta Wajo tidak. Selanjutnya pada tahun 1811-1816, belanda kembali ke Sulawesi Selatan sesudah berakhirnya Bukucerita rakyat dari kalimantan selatan di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan. KumpulanCerita Rakyat Kalimantan Barat Terpopuler untuk Dongeng Anak-Anak 1. Kisah Nelayan yang Serakah. Alkisah pada jaman dahulu di Sintang, Kalimantan Barat, hiduplah seorang nelayan beserta istri dan anak anaknya. Rumah mereka yang sederhana terletak di pinggir salah satu anak Sungai Kapuas yang panjang dan lebar itu. Kehidupan mereka sangat miskin. PerbandinganCerita Rakyat Putri Tandampalik dengan Nyi Roro Kidul. 1) Putri Kandita yang sakit hati kabur sendirian hingga tiba di pesisir pantai selatan. Singkat cerita, ia pun berhasil sembuh berkat suatu bisikan ghaib yang menyuruhnya untuk meminum air laut pantai selatan. Tidak hanya mendapatkan kesembuhan, namun ia juga mendapatkan PerangBanjar berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan "Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah", dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Lukisan Kapal Onrust. Follow the discussion. LegendaSangi sang pemburu adalah salah satu dari kumpulan kumpulan cerita rakyat Kalimantan yang diwariskan secara turun temurun. Kisah dongeng anak Sangi sang pemburu tepatnya berasal dari Kalimantan Tengah dan konon menjadi asal muasal Sungai Sangi. Percaya atau tidak sungai sangi hingga saat ini masih dianggap keramat dan ditakuti warga sekitarnya. 10Lagu Daerah Kalimantan Barat Beserta Lirik dan Penjelasannya. 12 January 2021. Berikut ini daftar lagu daerah dari Kalimantan Barat lengkap beserta lirik dan penjelasan singkat mengenai lagunya. Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki provinsi "Seribu Sungai". Julukan ini diberikan karena kondisi geografis Ceritarakyat bali : "Jayasuprana dan Layonsari" Mentiko Betuah; Legenda Gunung Wurung, Kisah Putung Kempat, Untung Suropati; Syekh Belabelu, Cerita layang; Semangka Emas (sambas) dan Asal Mula Danau Si Losung Dan Si Pinggan (Sumut) Puteri Junjung Buih - Kalimantan Selatan; Legenda Sungai Jodoh ( Cerita Rakyat Batam ) Legenda Kebo Iwa, patriot MITOSMITOS BERBASIS SUNGAI DALAM CERITA RAKYAT DI KALIMANTAN SELATAN [Associated with River Myths in The South Kalimantan Folklore] For the people of South Kalimantan, river-based myths provide awareness to make friends with rivers. The aim of this study was to understand the form of myths found in the South Kalimantan's folklor and its 5zJs. Cerita rakyat yang singkat dan menarik dari Kalimantan selatan - Lagenda telaga bidadari. Beberapa waktu yang lalu cerita rakyat kalimantan timur dengan judul legenda burung RoakMaka untuk kali ini dongeng rakyat dari kalimantan selatan yang akan menghiasi halaman sejarah dan budaya rakyat kalimantan selatan yang di bahasa di kesempatan ini adalah cerita rakyat nusantara legenda telaga bidadari, dalam bentuk dongeng singkat. Jadi cerita dongeng rakyat kalimantan ini bukanlah cerita rakyat panjang akan tetapi cerita rakyat pendek yang menjelaskan kisah cerita yang turun temurun dari masyarakat di kalimantan bagaimana kisah cerita rakyat nusantara dengan judul legenda telaga bidadari, untuk lebih jelasnya silahkan disimak saja ringkasan cerita legenda telaga bidadari dibawah rakyat yang singkat dan menarik dari Kalimantan selatan - Legenda Telaga BidadariAlkisah dalam cerita rakyat telaga bidadari, pada jaman dahulu kala, Ada seorang pemuda tampan bernama Awang Sukma yang tinggal di hutan. Ia adalah penguasa daerah hutan suatu hari, tiba tiba Awang mendengar suara wanita dari telaga. Ternyata di telaga tersebut ada 7 orang bidadari cantik jelita yang sedang mandi. Awang mengintip bidadari tersebut dari balik semak-semak dan mengambil salah satu dari selesai mandi, para bidadari tersebut mengambil selendangnya dan kembali ke si bungsu tidak bisa kembali karena selendangnya diambil oleh Awang Sukma. Ia pun ditinggalkan oleh keenam itu, Awang keluar dari persembunyiannya dan membujuk si bungsu untuk tinggal bersamanya. Karena takut sendirian, ia pun memutuskan tinggal bersama di rumah, Awang menyembunyikan selendang milik putri bungsu di balik lumbung padi. Hal tersebut ia lakukan lantaran tidak ingin bidadarinya memutuskan untuk kembali ke lama tinggal bersama, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah dan dikaruniai satu orang mereka sangatlah bahagia dan berkecukupan. Namun, kebahagiaan itu mulai surut ketika si putri bungsu menemukan selendangnya saat akan mengambil padi di merasa sangat sedih dan kecewa atas kebohongan Awang selama ini. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk kembali ke khayangan dan meninggalkan Awang serta anaknya. Namun, ia berjanji akan sering kembali ke bumi untuk menengok putri pun menyesal atas perbuatannya selama ini. Ia kini tinggal berdua dengan anaknya dalam rasa penyesalan yang mendalam. - sekian -Hingga kini telaga yang ada di Kalimantan Selatan tersebut dinamai dengan Telaga Bidadari. Cerita rakyat di atas merupakan salah satu contoh dari kumpulan cerita rakyat nusantara dan legenda yang sarat akan pesan satu pesan moral dari cerita telaga bidadari yang dapat dipetik adalah jangan mencuri demi mendapatkan sesuatu yang di inginkan. Hendaklah mengusahakannya dengan cara halal. Seperti halnya Awang yang mencuri selendang putri bungsu, pada akhirnya pun ia mengalami penyesalan karena telah cerita rakyat yang singkat dan menarik dari Kalimantan selatan berjudul legenda telaga bidadari, Baca juga cerita rakyat yang singkat dan menarik atau cerita rakyat pendek lainnya seperti gunung tangkuban, danau toba, Lutung Kasarung yang telah diterbitkan sebelumnya dan cerita rakyat jawa timur, semoga contoh cerita rakyat nusantara legenda telaga bidadari diatas dapat menghibur. Setelah adik-adik selesai membaca salah satu kisah yang diambil dari kumpulan legenda cerita rakyat dari Kalimantan Selatan ini, adik-adik tentu akan berpendapat bahwa cerita rakyat Indonesia ini memiliki persamaan dalam unsur cerita rakyat dengan salah satu cerita rakyat Nusantara dari daerah Sumatera Barat. Iya benar tebakan adik-adik, cerita rakyat kali ini sangat mirip dengan Cerita Rakyat Malin kundang. Walaupun cerita kali ini tidak terkenal seperti Kisah Malin Kundang namun legenda rakyat Putmaraga sangat menarik untuk disimak. Ingat yah pesan dari Hikayat Putramaraga adalah agar kita selalu berbakti kepada kedua orang tua kita. Kumpulan Legenda Cerita Rakyat Hikayat Putmaraga Tersebutlah sebuah keluarga miskin yang tinggal di desa Kalampaian. Keluarga itu terdiri dari seorang ibu dan anak lelaki satu-satunya. Putmaraga nama anak lelaki itu. Sepeninggal sang ayah, kehidupan keluarga itu bertambah kesulitan. Kerap Putmaraga dan ibunya merasakan kekurangan. Pada suatu malam ibu Putmaraga bermimpi didatangi seorang nenek renta. Si nenek renta berujar kepadanya, “Galilah tanah di belakang rumahmu, di antara pohon nangka.” Keesokan harinya ibu Putmaraga mengajak anaknya untuk menggali tanah di belakang rumahnya sesuai pesan nenek renta dalam impiannya. Tidak mereka duga, mereka menemukan sebuah guci Cina yang sangat besar. Isi guci besar itu membuat ibu Putmaraga dan Putmaraga amat tercengang. Mereka mendapati intan dan berlian yang sangat banyak jumlahnya di dalam guci. Kumpulan Legenda Cerita Rakyat Dari Kalimantan Selatan Putmaraga memberikan usulnya, “Kita bawa intan dan berlian ini kepada Kepala Suku. Kita tanyakan kepada beliau, kepada siapa kita hendaknya menjual intan dan berlian ini.” Ibu Putmaraga setuju dengan usul anaknya. Mereka lantas membawa intan dan berlian temuan mereka itu kepada Kepala Suku. Kepala Suku menyarankan agar mereka membawa intan dan berlian itu ke Medangkamulan. Katanya, “Raja Medangkamulaan terkenal kaya raya. Ia tentu mampu membeli intan dan berlian kalian yang sangat mahal harganya ini.” Ibu Putmaraga akhirnya meminta anaknya itu berangkat menuju Medangkamulan. Ia berpesan agar anaknya itu senantiasa bersikap jujur dan tidak sombong. “Lekas engkau kembali setelah berhasil menjual intan dan berlian ini.” Putmaraga berjanji akan mematuhi semua pesan ibunya. Dengan menumpang sebuah kapal besar milik seorang saudagar, Putmaraga akhirnya tiba di Medangkamulan. Benar seperti saran Kepala Suku, Raja Medangkamulan bersedia membeli intan dan berlian itu dengan harga yang pantas. Raja Medangkamulan malah menyarankan agar Putmaraga tinggal di Medangkamulan. Putmaraga lantas berdagang. Usaha perdagangannya membuahkan hasil yang banyak baginya. Di Medangkamulan itu Putmaraga terus membesarkan usaha dagangnya hingga beberapa tahun kemudian Putmaraga telah dikenal sebagai seorang saudagar yang sangat berhasil. Ia adalah saudagar terkaya di Medangkamulan. Raja Medangkamulan sangat terkesan dengan semangat dan usaha Putmaraga. Ia pun menikahkah salah satu putrinya dengan Putmaraga. Usaha dagang Putmaraga kian membesar setelah ia menjadi menantu Raja Medangkamulan. Putmaraga menyatakan kepada istrinya bahwa ia masih mempunyai ibu. Ia bahkan menjanjikan kepada istrinya untuk menemuinya ibunya. Karena janjinya itu maka istrinya berulang-ulang menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan ibu Putmaraga itu. Karena terus didesak istrinya, Putmaraga tak lagi bisa mengelak. Ia segera memerintahkan kepada anak buahnya untuk menyiapkan kapal yang besar lagi mewah miliknya yang akan digunakannya untuk berlayar ke kampung halamannya. Setelah berlayar beberapa waktu Iamanya, kapal besar lagi mewah milik Putmaraga itu akhirnya merapat di pelabuhan Banjar, di wilayah asal Putmaraga. Dalam waktu tak berapa lama kedatangan Putmaraga dengan kapal miliknya itu menyebar diketahui warga. Kekaguman warga pun tertuju pada Putmaraga, seseorang yang dahulu mereka kenal hidup miskin bersama ibunya. Tak terkirakan gembira dan bahagianya hati Ibu Putmaraga ketika mendengar kedatangan anaknya. Sampan kecilnya segera dikayuhnya menuju tempat di mana kapal anaknya tengah merapat. Kerinduannya bertahun-tahun kepada anaknya itu hendak dituntaskannya. Seketika mendekati kapal yang besar lagi mewah itu, Ibu Putmaraga lantas menyebutkan kepada penjaga kapal, “Saya ini ibu Putmaraga. Sampaikan kepada Putmaraga, saya ingin bertemu dengannya.” Dari geladak kapalnya, Putmaraga melihat kedatangan ibunya. Mendadak ia merasa malu hati mengakui jika perempuan tua yang berpakaian lusuh lagi kumal itu adalah ibunya. Putmaraga menolak kedatangan ibunya dan bahkan memerintahkan kelasinya untuk mengusir ibunya. Katanya keras-keras seraya bertolak pinggang, “Usir perempuan tua buruk rupa yang mengaku ibu kandungku itu! Ia bukan ibuku! Ia hanya mengaku-ngaku!” Tak terkirakan terperanjatnya Ibu Putmaraga mendengar ucapan anaknya. Ia berusaha keras untuk menyadarkan anaknya, namun Putmaraga tetap juga menolak untuk mengakui sebagai anaknya. Bahkan, ketika istrinya pun turut menyadarkan, Putmaraga tetap bersikukuh jika perempuan tua itu bukan ibunya. Ibu Putiparaga bergegas pulang ke rumahnya. Ia mengambil ayam bekisar jantan dan ikan ruan yang dahulu dipelihara Putmaraga. Seketika ia telah kembali ke kapal besar milik Putmaraga, ia pun menunjukkan dua hewan itu seraya berkata, “Putmaraga anakku, Iihatlah dua binatang kesayanganmu ini. keduanya tetap Ibu rawat selama engkau pergi ke Medangkamulan. Apakah engkau masih tidak percaya jika aku ini ibumu?” “Tidak!” seru Putmaraga. “Engkau bukan ibuku! Engkau hanya perempuan tua yang mengaku-ngaku sebagai ibuku karena menginginkan harta kekayaanku! Kelasi, usir perempuan tua itu dari kapalku ini!” Putmaraga sangat jengkel karena melihat ibunya tetap berusaha menjelaskan jika ia adalah ibu Putmaraga. Karena jengkelnya, Putmaraga lantas melempari ibunya dengan kayu-kayu. Salah satu lemparan itu telak mengena ibunya hingga ibunya jatuh terpelanting. Ibu Putmaraga merasa putus asa. Sakit benar hatinya mendapati sikap anaknya yang durhaka terhadapnya itu. Ia pun kembali ke rumahnya seraya mengayuh sampan kecilnya. Air matanya terus bercucuran ketika meninggalkan kapal milik anaknya itu. Dengan hati remuk redam, ia pun berdoa kepada Tuhan, “Ya Tuhan, sadarkanlah kedurhakaan anak hamba itu.” Seketika setelah ibu Putmaraga berdoa, alam tiba-tiba menampakkan kemarahannya. Langit yang semula cerah berubah menjadi amat gelap. Awan hitam bergulung-gulung. Kilat berkerjapan laksana merobek-robek langit yang disusul dengan gelegar petir berulang-ulang. Angin topan mendadak datang, menciptakan gelombang yang menderu-deru dengan kekuatan dahsyatnya. Semua kemarahan alam itu seperti tertuju pada Putmaraga yang kebingungan serta ketakutan di dalam kapal besar lagi mewahnya. Kapal Putmaraga seketika itu digulung gelombang air berkekuatan dahsyat. Sadarlah Putmaraga akan kedurhakaan besarnya terhadap ibu kandungnya. Ia pun berteriakteriak meminta ampun kepada ibunya. Namun, semuanya telah terlambat bagi Putmaraga. Kedurhakaan besarnya kepada ibunya tidak berampun. Kapal besar lagi mewah itu sirna ditelan ombak besar bergulung. Seketika alam telah kembali tenang, kapal besar lagi mewah milik Putmaraga itu mendadak menjadi batu. Pesan moral dari Kumpulan Legenda Cerita Rakyat Hikayat Putmaraga adalah kedurhakaan kepada orangtua, terutama ibu, akan berbuah kemurkaan Tuhan. Sekali-kali janganlah kita berani durhaka jika tidak ingin mendapatkan kemurkaan Tuhan. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Radin PangantinDiceritakan Kembali oleh Jamal T. SuryanataALKISAH, zaman dahulu kala terceritalah seorang perempuan tua bernama Diang Ingsun yang hidup di sebuah kampung kecil bersama anak lelaki semata wayangnya, Radin Pangantin namanya. Mereka tinggal di rumah panggung tua yang sesungguhnya tidaklah layak disebut rumah, tapi lebih pantas kalau disebut gubuk. Sebab, rumah itu hanyalah sebuah bangunan kecil beratap daun rumbia, berdinding anyaman bambu, dan berlantai bambu pula. Itu pun kondisinya sudah serba musim penghujan tiba, di tengah malam tidak jarang Diang Insun terbangun dan harus membopong anaknya berpindah tempat tidur akibat rembesan air hujan melalui celah-celah atap rumahnya yang sudah tiris di sana-sini. Jika sudah demikian, dengan isak tangis yang tertahan perempuan tua itu hanya bisa mengelus dada sambil menatap wajah anaknya yang masih polos tak berdosa. Ia coba untuk selalu bersabar meneriba cobaan seraya berdoa agar Tuhan segera mengubah keadaan hidup mereka menjadi lebih baik. Memang, hidup di kampung kecil yang jauh dari keramaian ditambah dengan mata pencaharian yang tidak menentu tentulah membuat siapa pun akan hidup prihatin. Jangankan untuk membeli pakaian yang bagus, sedangkan untuk makan sekali sehari saja sudah cukup susah bagi mereka. Apalagi Diang Ingsun selama ini hanya menopangkan hidupnya dari kebun kecil-kecilan yang ada di sekeling rumahnya. Sebab, selain sebuah sampan tua dan gubuk kecil yang kini mereka tempati, mungkin sepetak tanah pekarangan itulah satu-satunya warisan yang paling berharga dari mendiang suaminya. Tanah pekarangan itu ditanaminya dengan padi dan beberapa jenis tanaman palawija sekadar untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Sementara, untuk lauk makan bisa didapatkannya dari memancing atau memasang jaring ikan di sungai kecil dekat rumahnya. Tahun demi tahun berlalu, di bawah asuhan sang ibu yang sangat menyayanginya, Radin Pangantin tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berbakti kepada orang tuanya. Kini usianya sudah mulai menginjak remaja. Meski pergaulannya sangat terbatas, tetapi pikirannya semakin tajam dan pandangannya pun jauh ke depan. Belakangan ia sering duduk menyendiri, merenung memikirkan nasibnya. Diam-diam hatinya merasa cemas melihat keadaan ibunya yang tak sudah semakin menua. Tak teganya rasanya kalau dirinya terus menjadi beban bagi malam, seraya menyantap ubi rebus yang masih hangat mengepulkan asap di hadapannya, Radin Pangantin lama tercenung sambil menatap wajah ibunya. Antara rasa takut dan berani, bibirnya tampak bergetar-getar ingin mengucapkan sesuatu kepada sang ibu. Berkali-kali bibirnya seperti ingin berkata, tapi selalu saja tertahan di tenggorokannya. Ia merasa tak tega untuk berterus-terang mengutarakan maksud hatinya. Ia khawatir kata-katanya akan melukai perasaan ibunya.“Radin, ada apa anakku? Sepertinya kau ingin menyampaikan sesuatu kepada ibu? Kalau ada masalah tidak baik disimpan sendiri. Ayo, ceritakanlah kepada Ibu, Ibu akan siap mendengarkannya.” Sang ibu yang bijak mulai menebak-nebak pikiran anaknya.“Eh, eee… tidak, Bu. Tidak ada apa-apa.” Radin Pangantin tampak tergagap. Ia merasa belum sanggup berterus-terang di hadapan ibunya.“Lalu?” sang ibu mencoba mendesaknya.“Sudahlah, Bu. Lupakan saja.” “Radin, kau sudah besar anakku.”Sekali lagi, agak lama Radin Pangantin menatap wajah ibunya. Di situ, di kedalaman mata tua itu, terpancar ketulusan. Ketulusan hati seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya. Karena itu, juga lantaran desakan sang ibu, kini keberaniannya pun mulai muncul. Maka, dengan suara agak berat dan terbata-bata, Radin Pangantin akhirnya berani juga menyampaikan keinginan hatinya.“Ibu, maafkan Radin sebelumnya,” ujar Radin Pangantin tampak serius. “Ini menyangkut soal nasib dan masa depan Radin sendiri, Bu. Ibu tahu, sekarang Radin sudah besar. Ibu juga tahu, selama ini kehidupan kita hanya begini-begini saja. Dari tahun ke tahun tak ada perubahan sedikit pun. Dan Radin tidak mau kalau kehidupan Radin selamanya akan menjadi beban tanggungan Ibu. Karena itu, Bu, Radin bermaksud ingin mengadu nasib di kampung orang. Jadi, izinkan Radin pergi ke negeri seberang.”“Merantau maksudmu, anakku?” Diang Ingsun tampak sangat terkejut.“Benar, Bu. Radin ingin merantau. Soalnya…”“Radin!” kontan saja sang ibu menyela, seolah tak percaya pada apa baru didengarnya dari mulut anak semata wayangnya itu. “Coba kau pikirkan sekali lagi, anakku. Sekarang Ibu sudah semakin tua. Kalau kau pergi merantau, lalu Ibu hidup dengan siapa lagi? Apa kau tega meninggalkan Ibu seorang diri?”“Bu, Ibu tidak usah sedih begitu. Radin hanya ingin mengubah kehidupan kita, Bu. Kalau Radin terus hidup di kampung seperti sekarang, Radin tidak akan punya pekerjaan yang bagus dan kehidupan kita juga akan tetap miskin seperti ini. Karena itulah, Bu, Radin harus mencoba mengadu nasib di kampung orang. Nah, kalau nanti Radin sudah berhasil, Radin pasti akan pulang dan membangunkan rumah yang bagus untuk Ibu. Apa Ibu tidak bangga kalau nanti melihat Radin datang sudah menjadi orang terpandang?”Perempuan tua itu kini tak bisa berkata apa-apa lagi. Suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Kepalanya terasa sangat berat. Hingga berhari-hari kata-kata sang anak itu terus terngiang di telinganya. Sering ia duduk tercenung seorang diri. Kedua matanya tampak sayu, menatap kosong jauh ke negeri seberang. Membayangkan nasib anak semata wayangnya hidup susah di Radin Pangantin juga tak mau kehilangan semangat. Setiap saat ia selalu memohon restu kepada ibunya. Setiap ada kesempatan ia selalu berusaha meyakinkan ibunya. Demikianlah, setelah melihat ketulusan dan kebulatan tekad sang anak, sekeras-kerasnya hati seorang ibu akhirnya lunak juga. Demi mengabulkan hajat sang anak semata wayangnya, hati Diang Ingsun pun akhirnya luluh juga. Radin Pangantin telah mendapatkan restu dari sang ibu untuk pergi harinya, di pagi buta Diang Ingsung sudah bangun untuk menyiapkan makanan dan perbekalan seadanya buat Radin Pangantin. Dengan berurai air mata, dilepaskannya kepergian sang anak hingga menghilang di tikungan jalan.“Bu, Radin mohon diri. Tolong doakan Radin agar cepat berhasil mencari pekerjaan. Dan ini, tolong juga peliharakan anak ayam dan anak ikan tauman ini sebagai pengingat Ibu kepada Radin selama di perantauan,” demikian pesan terakhir yang sempat diucapkan Radin Pangantin sebelum kepergiannya. Saat Radin Pangantin tiba di pelabuhan, mujur baginya karena secara kebetulan pagi itu ada sebuah kapal dagang yang siap berangkat ke negeri seberang. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Didatanginya seorang awak kapal untuk minta menghadap sang juragan. Setelah mendengar maksud baik dan melihat sikapnya yang sopan, sang juragan pun tidak segan-segan memberi tumpangan kepadanya. Dan, sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, selama di perjalanan Radin Pangantin dengan suka rela ikut membantu melakukan apa saja yang bisa dikerjakannya di kapal itu. ***Sudah berbulan-bulan Radin Pangantin hidup di perantauan, di negeri Jawa Dwipa. Berkat doa sang ibu, begitu sampai di tanah Jawa ternyata memang tidak sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan. Karena melihat kejujuran dan perilakunya yang selalu santun, sang juragan kapal yang dulu ditumpanginya itu langsung mengangkat Radin menjadi salah seorang pegawainya. Bahkan, setelah melihat keuletan dan bakatnya yang besar dalam bidang perdagangan, Radin pun semakin mendapat kepercayaan dari sang juragan. Ia diberi pinjaman modal untuk membuka usaha dagang sendiri di daerah lain. Berselang tahun kemudian, seiring dengan usahanya yang terus berkembang dan kian maju pesat, kini Radin Pangantin telah menjadi orang yang kaya-raya. Bahkan, kekayaannya kini sudah melampaui kekayaan orang yang dulu menjadi juragannya. Namanya semakin dikenal di kalangan pedagang dan pengusaha besar. Alkisah, keharuman namanya sampai juga ke telinga raja yang berkuasa di negeri itu. Dan konon, sang raja ingin sekali mengenal Radin Pangantin secara langsung. Suatu hari, diundanglah Radin Pangantin ke istana raja yang kebetulan memiliki seorang anak gadis. Di istana sang raja, ia disambut sebagai tamu kehormatan. Dan, seperti kata pepatah, kalau memang jodoh tidak akan kemana. Singkat kata ringkas cerita, Radin Pangantin akhirnya dikawinkan dengan putri raja tersebut. Pesta perkawinan dilaksanakan secara besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Beragam jenis makanan dihidangkan. Berbagai acara hiburan dipertunjukkan. Seluruh rakyat diundang untuk memeriahkan. Betapa bangganya Radin Pangantin bisa bersanding dengan sang putri kerajaan yang kecantikannya nyaris tak ada bandingan, di atas pelaminan yang begitu megah dan penuh keagungan. ***Pesta perkawinan telah lama berlalu, masa bulan madu pun sudah pula ditinggalkan. Entah kenapa, dalam beberapa hari belakangan ini, di benak Radin Pangantin terbetik kerinduan akan kampung halaman yang sudah sekian lama ditinggalkannya. Selain itu, permintaan sang istri untuk segera bertemu dengan ibu mertuanya membuat Radin Pangantin tak mungkin lagi menunda waktu terlalu lama. Maka, beberapa hari kemudian disiapkanlah sebuah kapal besar milik kerajaan lengkap dengan perbekalan beserta para pendamping dan seluruh awak kapalnya. Setelah segala persiapan lengkap, kini bertolaklah kapal megah itu membawa rombongan Radin Pangantin dan istrinya menuju pulau Borneo di seberang lautan. Kapal pun melaju dengan tenang. Setelah berselang minggu berbilang bulan, akhirnya tibalah kapal kerajaan itu di tempat tujuan. Namun, karena besarnya ukuran kapal tersebut, kapal itu tak bisa bersandar langsung di pelabuhan. Sauh diturunkan, tubuh kapal terpaksa harus parkir agak jauh dari beberapa awak kapal memberi tahu kepada penduduk bahwa kapal itu membawa rombongan Radin Pangantin dan istrinya, orang sekampung pun segera menjadi gempar. Mereka berduyun-duyun datang ke pelabuhan untuk menyaksikan langsung kemegahan kapal tersebut. Semua terheran-heran. Semua berdecak kagum. Ada yang geleng-geleng kepala, ada pula yang ragu setengah percaya. “Kapal Radin Pangantin? Benarkah?” ucap seorang penduduk mengungkapkan keraguannya.“Jadi, si Radin sekarang sudah jadi orang kaya-raya?” yang lain menimpali.“Wah, hebat! Luar biasa! Seumur hidupku belum pernah melihat kapal sebesar itu!” timpal yang lain sampai berselang hari, kabar kedatangan Radin Pangantin itu pun akhirnya sampai juga ke telinga sang ibu, Diang Ingsun. Perempuan yang sudah semakin tua renta itu kini benar-benar merasakan kerinduan yang luar biasa. Dalam benaknya segera terbayang kembali saat-saat terakhir ketika ia melepaskan kepergian sang anak semata wayangnya itu bertahun-tahun yang lalu. Tak kuasa ia menahan gejolak perasaannya. Cairan hangat pun segera meleleh dari kedua sudut mata tuanya. Tapi, kini semangat hidupnya kembali menyala. Ia ingin segera bertemu dengan sang anak yang sudah begitu lama yang kurus dan semakin renta itu kini seakan mendapatkan kekuatan baru. Dengan sebilah dayung rompeng, dikayuhnya sampan tua dengan sekuat tenaga untuk segera sampai ke pelabuhan. Tak lupa dibawakannya anak ayam yang kini sudah menjadi ayam jago dan ikan tauman yang kini sudah sangat besar pula. Syahdan, berjam-jam kemudian, sampailah Diang Ingsun di pelabuhan. Orang-orang merasa kasihan melihatnya. Tapi Diang Ingsun tak mau ambil pusing, sampan tua itu terus dikayuhnya hingga mendekati bagian depan kapal tempat Radin Pangantin dan istrinya sedang berdiri bergandeng tangan sambil memandang jauh ke tepi daratan.“Radin Pangantin, anakku! Radin Pangantin, anakku…!!” Diang Ingsun mencoba berteriak-teriak memanggil anaknya di sela-sela guruh geladak depan kapal itu tampak istri Radin Pangantin mengucapkan sesuatu ke telinga sang suami seraya menunjuk-nunjuk ke arah perempuan tua yang sedang berdiri di atas sampan kecil di sisi lambung kapal mereka. “Radin Pangantin, ini ibumu! Ibu sangat merindukanmu, Radin…!!”Radin Pangantin tak bergeming sedikit pun. Meski ia sebenarnya sudah melihat ke arah orang tua itu, tapi rupanya ia merasa malu di depan istrinya untuk mengakui perempuan tua renta dengan pakaian penuh tambalan itu sebagai ibu kandungnya. “Tidak! Kau bukan ibuku. Kamu bukan ibuku…!!” teriak Radin Pangantin lebih keras seraya menunjuk-nunjuk sambil tetap berdiri dengan pongahnya di geladak depan kapal itu.“Radin, percayalah, ini ibumu! Aku ibu kandungmu, Radin…!!”“Tidak, kau bukan ibuku! Kamu bukan ibuku…!!”Sementara itu, di atas geladak kapal megah itu sang istri mencoba membujuk suaminya. “Kakang, kalau dia memang ibumu, kenapa kau harus merasa malu untuk mengakuinya? Kakang, ayolah jemput ibumu dengan baik-baik. Aku tidak malu. Aku akan terima kalau dia memang ibu mertuaku, bagaimana pun keadaannya. Ayolah, Kakang….”Radin Pangantin tetap pada pendiriannya.“Radin Pangantin, ini ibumu! Ini sengaja Ibu bawakan dari kamupung ayam jago dan ikan tauman peliharaanmu dulu. Ini bukti kalau aku adalah ibumu, Radin…!!” Diang Ingsun sekali lagi mencoba bersabar dan terus berusaha meyakinkan anaknya.“Dasar perempuan tua jelek! Sudah kukatakan, kau bukan ibuku…!!”Setelah berkali-kali mencoba tetap bersabar, tapi melihat sikap Radin Pangantin yang sekarang telah tega mendurhakai dan sangat menyakiti hatinya itu, kesabarannya pun akhirnya hilang juga. Maka, kini perempuan itu pun memanjatkan doa kepada Tuhan agar segera memberikan balasan yang setimpal dengan perbuatannya.“Wahai, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Adil, aku telah mengandungnya selama sembilan bulan sembilan hari, tetapi sekarang dia telah mendurhakaiku. Air susu dibalas dengan air tuba. Maka, kini tunjukkanlah kekuasaan dan keadilanmu!”Belum lagi hilang riak di bibir, seketika datanglah awan hitam bergulung-gulung disertai dengan tiupan badai yang sangat dahsyat. Bunyi guntur dan petir begitu keras bersahutan. Laut mengamuk. Seluruh penumpang menjadi panik. Semua berteriak-teriak histeris meminta pertolongan. Sedetik kemudian, tubuh kapal itu telah melambung tinggi ke atas dan secepat itu pula kembali jatuh terhempas hingga terpenggal menjadi dua bagian yang saling berjauhan. Lalu, setelah segalanya mereda dan kembali tenang seperti sedia kala, tubuh kapal dan seluruh penumpangnya telah berubah wujud menjadi batu. Konon, bagian haluan depan kapal itu kini menjadi Gunung Batu Bini di wilayah Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Sementara, bagian buritan belakang kapal itu kini menjadi Gunung Batu Benawa di Kecamatan Pagat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Kata benawa berarti “kapal”, sedangkan kata pagat yang kemudian dijadikan nama kecamatan itu diambil dari peristiwa terpenggalnya kapal Radin Pangantin. Karena itu, cerita ini sering pula disebut “Legenda Gunung Batu Benawa”. Lihat Cerpen Selengkapnya

cerita rakyat kalimantan selatan singkat